Mitrardi Sangkoyo, Ilmu Politik UI 2011 dan Anggota SEMAR UI
Pernah dimuat di Buletin 'Grayscale' Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik (HMIP) edisi 8, Oktober-Februari 2012-2013. Dimuat ulang disini untuk tujuan pendidikan
We're not scaremongering
This is really happening
– Radiohead, Idioteque
Banjir di Jakarta adalah krisis yang sifatnya berulang dan sistemik, yang
tidak bisa dilihat secara simplistis. Oleh karenanya, ia harus diperiksa
sebagai sebuah gejala dalam lintasan sejarah sosial dan ekologis.
Dari sisi ruang, menarik untuk mengamati bahwa krisis itu terjadi, tidak
lain dan tidak bukan, justru di wilayah-wilayah administrasi publik yang diurus
secara sistematis dan terencana. Dari sisi waktu, tak kalah menariknya bahwa
setelah percepatan pembangunan 25 tahun sejak Repelita I di akhir dekade
1960-an, yang terjadi untuk kota Jakarta bukannya sebuah penyempurnaan kinerja
infrastruktur fisik untuk menghadapi gejala alam, namun justru pemburukan
kinerja pengelolaan air permukaan beserta pengorbanan manusia—khususnya
golongan miskin—di sepanjang proses perluasan infrastruktur kota.[1]
Apa yang terjadi?
Secara geologis, dari barat Ciputat hingga Teluk Jakarta sebenarnya adalah
cekungan banjir atau mangkuk raksasa. Pinggiran mangkuk tersebut, yang terletak
di daerah utara seperti Ancol dan Teluk Jakarta, mengalami penaikan tanah
akibat proses tektonik. Alhasil, air dari 13 sungai yang bermuara di Teluk
Jakarta tidak dapat mengalir secara lancar ke laut, dan terjebak di cekungan
besar Jakarta.[2]
Sementara itu, bagian dalam dari mangkuk tersebut terdiri dari tanah alluvial
yang belum sempurna pemampatannya.[3]
Pada saat ini, tanah di sana mengalami variasi penurunan sebesar 5 sampai 20 cm
per tahun, yang diperparah dengan pengambilan air tanah dan pembangunan
infrastruktur.
Sejak tahun 1619, ketika Gubernur-Jenderal Jan Pieterszoon Coen
memerintahkan dibangunnya sebuah kota di muara Sungai Ciliwung, para arsitek
dan perencana kota Belanda mengetahui betapa ganasnya daerah yang sedang mereka
coba untuk taklukkan. Kanal-kanal yang merupakan bagian dari impian Coen untuk
menjadikan Jakarta seperti “Venesia dari Timur” terbukti tidak cukup untuk
dapat membendungi banjir-banjir besar, sehingga perlahan terjadi perluasan
wilayah hidup dan perpindahan penduduk secara besar-besaran ke arah selatan.[4]
Sejarah ekologis Jakarta hanyalah satu faktor dalam dinamika banjir yang
kita warisi sekarang. Faktor yang tak kalah pentingnya adalah moda ekspansi
infrastruktur perkotaan.
Penduduk D.K.I. Jakarta meningkat dari 4.579.303 (1971), menjadi 9.607.787
(2010).[5]
Pertumbuhan pesat tersebut selama ini dijawab dengan perluasan infrastruktur
kota yang meremehkan dinamika proses-proses alam, termasuk daur hidrologi di
wilayah resapan air, baik di dalam Jakarta maupun di kompleks pegunungan
Gede-Pangrango dan Salak.
Ambil contoh kompleks perumahan Pantai Indah Kapuk. Daerah yang tadinya
rawa dan hutan lindung (Hutan Tegal Alur Angke Kapuk) kemudian ‘dilelangkan’
oleh Dirjen Kehutanan. Dalam surat keputusannya tertanggal 31 Juli 1982 kepada
PT. Mandala Permai, terjadi perubahan fungsi dari hutan tersebut menjadi tempat
pemukiman, kondominium, pusat bisnis, rekreasi dan lapangan golf.[6]
PIK baru ujung dari gunung es—ada banyak sekali kasus alih fungsi lahan
dari daerah resapan menjadi daerah hunian, industri, dan pusat-pusat konsumsi
seperti mall, yang dalam proses pengalihannya juga menggusur kampung-kampung
setempat.
Faktor terakhir adalah kepengurusan publik yang psikopatik. Karakter dari
pengurus publik Jakarta sangat menentukan mengapa persoalannya menjadi semakin
jauh dari penyelesaian atau respons yang memadai. Politik perkotaan yang
mengedepankan perluasan, percepatan, dan pembangunan situs-situs produksi dan
konsumsi, instrumen pengurusan seperti protokol dan regulasi tata bangunan yang
merusak keutuhan dan keseimbangan faktor-faktor sosial-ekologis, awak dari
pemerintah kotanya yang korup, fakta bahwa semua pelanggaran pada prinsipnya
bisa diselesaikan dengan denda atau uang, tidak adanya jalan untuk umpan balik
dari publik, tidak terpenuhinya hak atas kota bagi penduduknya—ini semua ikut
berkontribusi kepada iklim kota yang sakit.[7]
Faktor-faktor yang sudah dituturkan di atas mengakibatkan ketidakadilan
dalam penanggungan risiko dari seluruh cerita krisis sosial-ekologis yang
melanda Jakarta. Inilah sisi ‘sosial’-nya. Siapa sih yang kena dampak?
Di jaman Belanda, paradigma perencanaan kotanya sudah jelas: bangunlah
Kanal Banjir Kalimalang agar kaum pribumi saja yang kebanjiran, yang penting
elite Belanda selamat di kawasan Menteng. Melihat cerita sekarang, sudahkah
kita berubah dari paradigma tersebut? Atau apakah kita masih saja menyalahkan
warga miskin yang ‘tidak bisa diatur’ dan sering ‘membuang sampah sembarangan’
sebagai penyebab utamanya terjadi banjir di Jakarta kita ini?
Penutup
Sudah saatnya banjir di Jakarta dilihat sebagai suatu proses sebab-akibat
yang kompleks, sebagai krisis sosial-ekologis yang harus dikaji bersama secara
tajam. Pengurus publik serta rakyat Jakarta harus berani untuk melawan
perusakan dan memulihkan kerusakan—jika memang itu yang kita inginkan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar