Selasa, 14 Januari 2014

Batavia Onder Water

Mitrardi Sangkoyo, Ilmu Politik UI 2011 dan Anggota SEMAR UI

Pernah dimuat di Buletin 'Grayscale' Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik (HMIP) edisi 8, Oktober-Februari 2012-2013. Dimuat ulang disini untuk tujuan pendidikan


We're not scaremongering
This is really happening
– Radiohead, Idioteque


Banjir di Jakarta adalah krisis yang sifatnya berulang dan sistemik, yang tidak bisa dilihat secara simplistis. Oleh karenanya, ia harus diperiksa sebagai sebuah gejala dalam lintasan sejarah sosial dan ekologis.


Dari sisi ruang, menarik untuk mengamati bahwa krisis itu terjadi, tidak lain dan tidak bukan, justru di wilayah-wilayah administrasi publik yang diurus secara sistematis dan terencana. Dari sisi waktu, tak kalah menariknya bahwa setelah percepatan pembangunan 25 tahun sejak Repelita I di akhir dekade 1960-an, yang terjadi untuk kota Jakarta bukannya sebuah penyempurnaan kinerja infrastruktur fisik untuk menghadapi gejala alam, namun justru pemburukan kinerja pengelolaan air permukaan beserta pengorbanan manusia—khususnya golongan miskin—di sepanjang proses perluasan infrastruktur kota.[1]

Apa yang terjadi?

Secara geologis, dari barat Ciputat hingga Teluk Jakarta sebenarnya adalah cekungan banjir atau mangkuk raksasa. Pinggiran mangkuk tersebut, yang terletak di daerah utara seperti Ancol dan Teluk Jakarta, mengalami penaikan tanah akibat proses tektonik. Alhasil, air dari 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta tidak dapat mengalir secara lancar ke laut, dan terjebak di cekungan besar Jakarta.[2] Sementara itu, bagian dalam dari mangkuk tersebut terdiri dari tanah alluvial yang belum sempurna pemampatannya.[3] Pada saat ini, tanah di sana mengalami variasi penurunan sebesar 5 sampai 20 cm per tahun, yang diperparah dengan pengambilan air tanah dan pembangunan infrastruktur.

Sejak tahun 1619, ketika Gubernur-Jenderal Jan Pieterszoon Coen memerintahkan dibangunnya sebuah kota di muara Sungai Ciliwung, para arsitek dan perencana kota Belanda mengetahui betapa ganasnya daerah yang sedang mereka coba untuk taklukkan. Kanal-kanal yang merupakan bagian dari impian Coen untuk menjadikan Jakarta seperti “Venesia dari Timur” terbukti tidak cukup untuk dapat membendungi banjir-banjir besar, sehingga perlahan terjadi perluasan wilayah hidup dan perpindahan penduduk secara besar-besaran ke arah selatan.[4]

Sejarah ekologis Jakarta hanyalah satu faktor dalam dinamika banjir yang kita warisi sekarang. Faktor yang tak kalah pentingnya adalah moda ekspansi infrastruktur perkotaan.

Penduduk D.K.I. Jakarta meningkat dari 4.579.303 (1971), menjadi 9.607.787 (2010).[5] Pertumbuhan pesat tersebut selama ini dijawab dengan perluasan infrastruktur kota yang meremehkan dinamika proses-proses alam, termasuk daur hidrologi di wilayah resapan air, baik di dalam Jakarta maupun di kompleks pegunungan Gede-Pangrango dan Salak.

Ambil contoh kompleks perumahan Pantai Indah Kapuk. Daerah yang tadinya rawa dan hutan lindung (Hutan Tegal Alur Angke Kapuk) kemudian ‘dilelangkan’ oleh Dirjen Kehutanan. Dalam surat keputusannya tertanggal 31 Juli 1982 kepada PT. Mandala Permai, terjadi perubahan fungsi dari hutan tersebut menjadi tempat pemukiman, kondominium, pusat bisnis, rekreasi dan lapangan golf.[6]

PIK baru ujung dari gunung es—ada banyak sekali kasus alih fungsi lahan dari daerah resapan menjadi daerah hunian, industri, dan pusat-pusat konsumsi seperti mall, yang dalam proses pengalihannya juga menggusur kampung-kampung setempat.

Faktor terakhir adalah kepengurusan publik yang psikopatik. Karakter dari pengurus publik Jakarta sangat menentukan mengapa persoalannya menjadi semakin jauh dari penyelesaian atau respons yang memadai. Politik perkotaan yang mengedepankan perluasan, percepatan, dan pembangunan situs-situs produksi dan konsumsi, instrumen pengurusan seperti protokol dan regulasi tata bangunan yang merusak keutuhan dan keseimbangan faktor-faktor sosial-ekologis, awak dari pemerintah kotanya yang korup, fakta bahwa semua pelanggaran pada prinsipnya bisa diselesaikan dengan denda atau uang, tidak adanya jalan untuk umpan balik dari publik, tidak terpenuhinya hak atas kota bagi penduduknya—ini semua ikut berkontribusi kepada iklim kota yang sakit.[7]

Faktor-faktor yang sudah dituturkan di atas mengakibatkan ketidakadilan dalam penanggungan risiko dari seluruh cerita krisis sosial-ekologis yang melanda Jakarta. Inilah sisi ‘sosial’-nya. Siapa sih yang kena dampak?

Di jaman Belanda, paradigma perencanaan kotanya sudah jelas: bangunlah Kanal Banjir Kalimalang agar kaum pribumi saja yang kebanjiran, yang penting elite Belanda selamat di kawasan Menteng. Melihat cerita sekarang, sudahkah kita berubah dari paradigma tersebut? Atau apakah kita masih saja menyalahkan warga miskin yang ‘tidak bisa diatur’ dan sering ‘membuang sampah sembarangan’ sebagai penyebab utamanya terjadi banjir di Jakarta kita ini?

Penutup

Sudah saatnya banjir di Jakarta dilihat sebagai suatu proses sebab-akibat yang kompleks, sebagai krisis sosial-ekologis yang harus dikaji bersama secara tajam. Pengurus publik serta rakyat Jakarta harus berani untuk melawan perusakan dan memulihkan kerusakan—jika memang itu yang kita inginkan.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar